Merdeka Belajar
Menyoal pendidikan bukanlah hal yang sulit untuk ditemukan di dalam lingkaran diskursus. Banyak sekali orang-orang ramai memberbicarakan tentang pendidikan Indonesia. Bukan pada kali ini saja, tetapi dari jauh-jauh hari pendidikan kerap kali menjadi tema perbincangan khalayak ramai. Baik itu pakar pendidikan, aktivis pendidikan sampai pelajar pun turut andil dalam persoalan wacana merevolusi pendidikan yang tidak merdeka ini.
Penulis ingin mengawali pembahasan kali ini dengan sapaan hangat bagi para pemangku kepentingan dan terkhusus kepada KEMENDIKBUD yang sudah mengorbankan banyak sekali waktunya dimasa pandemi kali ini dengan menyodorkan asumsi dan benih-benih pemikiran dan harapannya untuk mengkondusifkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang tengah berada di ambang batas involusi pendidikan.
Berbicara tentang merdeka atau kemerdekaan sebuah belajar, kiranya bukanlah suatu konsepsi yang sempit, kita memerlukan banyak sekali formulasi-formulasi yang tepat dan stimulasi dari berbagai pihak terkait proses kemerdekaan belajar tersebut. Sebab, pendidikan bukanlah suatu media kompetisi untuk meraih sebuah jabatan atau tingginya jenjang pendidikan seseorang, akan tetapi lebih dari itu. Seperti yang terkandung dalam amanat Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 yaitu ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Akan tetapi, sering kali kita menemui cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itu, terjebak di perkarangan prosedural. Menuntut semua murid untuk paham secara simultan tetapi memarahi anak yang belum mengerti.
Pendidikan pada hakikat-fundamentalnya bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis pelajar sebagai prasyarat proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Beranjak dari hakikat tersebut, sistem pendidikan seharusnya menciptakan dan menumbuhkan growth mindset kepada pelajar bukannya menciptakan standarisasi yang memangkas kapabilitas pelajar. Kebanyakan sekolah menjejali pelajar dengan rangkaian administrative-culture. Sehingga ujian, akreditasi, dan nilai yang sebetulnya hanya cara, sekarang menjadi tujuan yang bahkan lebih tinggi prioritasnya dibandingkan tujuan itu sendiri.
Merdeka belajar, sering kali kita di nina bobokan dengan hanya menginterpretasikan pelajar (yang dan atau untuk) merdeka. Tetapi, jikalau kawan-kawan menyelami lebih dalam diksi tersebut, maka akan ada dua makna yang terkandung dalam diksi tersebut, yaitu: pelajar merdeka dan guru merdeka. Akan tetapi, guru yang seharusnya menjadi mobilisator perubahan malah kemudian menjadi sekat perubahan tersebut. Lah kok, guru yang disalahkan?! Di mana coba letak kesalahan kami (Guru)?!
Saya akan memaparkan analisis-empiris yang telah saya alami dan temukan di perkarangan kehidupan saya. Bahwasannya komitmen-intelektual guru yang sedari awal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (pelajar) hanya dijadikan sebagai pijakan imajinatif bukan aplikatif. Susahnya untuk konsisten adalah tombak penghancur tujuan mulia tersebut. Kemudian soal kemandirian, bukan hanya pelajar yang seharusnya mandiri tetapi guru pun harus mandiri. Mandiri untuk terus meningkatkan dan mengembangkan daya kapabilitas dan kompetensi sang guru. Sehingga nantinya, guru dapat menggiring untuk menciptakan learning-culture bukan terus terjerembab dalam administrative-culture yang membuat halusinasi sistem-tranformatif pendidikan Indonesia kian tumbuh subur. Data analisis-empiris saya yang terakhir ialah soal daya reflektif. Guru yang selalu penulis temukan, kebanyakan tidak mampu mengembiri rasa egosentrisnya. Yang selalu penulis jumpai, guru yang tampil dengan gaya idealismenya membekukan pikiran kritis pelajar. Dan yang selalu penulis rasakan, guru yang menghardik pikiran-pikiran pelajar yang belum mengerti. Mungkin, dengan adanya daya reflektif proses, pembelajaran bukan dijadikan sebagai siapa yang paling benar, akan tetapi menciptakan sebuah kolaborasi dalam ekosistem pembelajaran, bagaimana kedua belah pihak bisa saling mengevaluasi bukannya mencaci dan selalu berkreasi dengan pengetahuan yang dimiliki.
Pada kesempatan berharga ini, kiranya penulis ingin bernostalgia dan berbagi sedikit rasa perihal rindu dan keresahan kepada bapak dan ibu yang selalu saya hormati. Penulis akan membawa kalian ke masa di mana kita dulu bebas berimajinasi, berpikir layaknya orang benar, mengangkat tangan setinggi impian, bercita-cita melebihi tingginya atap kelas tanpa rasa takut dan khawatir terhadap apa yang dilakukannya akan dicoret oleh kapur milik sang guru. Tetapi, semua itu enyah, sekolah saat ini bukan lagi menjadi berita kegembiraan, sekolah bukan lagi menjadi tempat membangun kesadaran kritis melainkan mengunggulkan keterampilan teknis dengan ukurannya yang sudah ditetapkan.
Terakhir, penulis ingin sekali memberikan oleh-oleh berupa imajinasi perihal pendidikan, penulis harap pendidikan bukan lagi hanya sebatas mendidik dan menumpahi informasi kepada pelajar, tetapi mau untuk berkolaborasi dengan aksi dan dibumbui dengan hati.
Terima kasih dan Salam kata!!!
Hilmi Ghimar – Kelas 11 MA Putra